Sosok Sederhana Buya Syafii Maarif Meninggal Dunia, Jokowi Langsung Terbang ke Yogya
Haedar Nashir: Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif
Mendengar kabar duka wafatnya Buya Syafii Maarif, Jumat, 27 Mei 2022, Presiden Joko Widodo langsung memutuskan bertolak ke Yogyakarta untuk bertakziah.
Ia menyampaikan belasungkawa secara langsung kepada segenap keluarga almarhum.
Presiden Jokowi berangkat dari Istana Merdeka sekitar pukul 12.30 WIB selepas melaksanakan salat jumat di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan.
Ia menuju hanggar milik Garuda Maintenance Facility (GMF) Kawasan Bandara Internasional Soekarno Hatta di Tangerang tempat Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 terparkir.
Presiden Jokowi yang hanya didampingi perangkat terbatas lepas landas sekitar pukul 13.50 WIB menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 dan setibanya di Yogyakarta akan langsung menuju Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta tempat disemayamkannya almarhum.
Turut mendampingi Presiden Jokowi yaitu Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, Sekretaris Militer Presiden Marsda TNI M. Tonny Harjono, Komandan Paspampres Mayjen TNI Tri Budi Utomo, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin.
Buya Syafii Maarif wafat meninggal dalam usia 86 tahun pada Jumat (27/5/2022) pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman.
“Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Jumat (27/5/2022).
“Semoga beliau husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan di kuburnya, dan ditempatkan di jannatun na’im. Mohon dimaafkan kesalahan beliau dan do’a dari semuanya,” ungkapnya.
Sebelumnya, Buya Syafii Maarif dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah Gamping sejak Sabtu (14/5/2022) akibat mengalami sesak napas.
Kondisi mantan Ketum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 tersebut sempat membaik dan tidak begitu sesak napas.
Bahkan, dokter juga sudah memperbolehkan Buya Syafii Maarif pulang ke rumah.
Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif lahir 31 Mei 1935 (86 tahun).
Ia adalah seorang ulama dan cendekiawan Indonesia.
Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute.
Profil Syafii Maarif
Buya Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.
Buya dikenal sangat sederhana meski seorang guru besar dan mantan Ketua Umum Muhamadiyah.
Misalnya Biya Syafii biasa terlihat makan di warteg, naik sepeda, bahkan naik KRL gabung dengan penumpang lainnya.
Ia lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah.
Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.
Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya.
Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal.
Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.
Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.
Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun.
Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.
Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.
Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.
Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa.
Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.
Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.
Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama.
Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar.
Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga.
Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.
Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.
Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya.
Kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.
Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.
Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958.
Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.
Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Pendidikan
S-3 University of Chicago, Amerika Serikat (1983)
S-2 Ohio State University, Amerika Serikat (1980)
S-1 FKIS, Universitas Negeri Yogyakarta (1968)
Karya tulis
Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975
Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984
Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985