Saif Gaddafi Ambisi Jadi Presiden Libya
Ikut Pemilu Libya 23 Desember 2021
SEMPAT dikabarkan meninggal, putra mendiang diktator Libya Muammar Gaddafi, Saif Al-Islam Gaddafi, muncul lagi ke panggung politik Libya.
Saif al-Islam muncul ke publik melalui wawancara eksklusif dengan The New York Times yang dirilis pada edisi Jumat, 30 Juli 2021.
Enam tahun, Saif al-Islam bersembunyi di pengasingan. Tahun 2011 ini, putra mendiang diktator Libya Muammar Gaddafi ini ditahan oleh para pejuang revolusioner di Zintan, Libya.
Kini, Saif al-Islam memberanikan diri muncul ke publik lewat media.
Ia ingin mengembalikan persatuan yang hilang di Libya setelah satu dekade kekacauan. Saif tidak mengesampingkan pencalonan diri menjadi presiden Libya.
Ia melakukan wawancara dengan New York Times di sebuah vila dua lantai yang mewah.
Lokasinya berada di dalam kompleks di Zintan di kawasan Afrika utara yang dijaga ketat.
Selama bertahun-tahun, misteri telah menyelimuti keberadaan Saif. Dia diburu oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC: International Criminal Court) terkait dengan kejahatan perang yang dilakukannya.
Saif yang berusia 49 tahun dianggap sebagai penerus ayahnya sebelum penyerangan Libya tahun 2011.
“Sudah waktunya untuk kembali ke masa lalu. Negara bertekuk lutut. Tidak ada uang, tidak ada keamanan. Tidak ada kehidupan di sini,” kata Saif al-Islam dalam penampilan pertamanya setelah bertahun-tahun.
Setelah empat dekade berkuasa, Muammar Gaddafi dan kerabatnya menjadi sasaran pemberontakan rakyat pada tahun 2011.
Tiga dari tujuh putranya ikut tewas. Nasib Saif al-Islam — yang berarti pedang Islam — tidak diketahui.
Pada November 2011, Saif ditangkap oleh milisi Libya, beberapa hari setelah ayahnya terbunuh.
Empat tahun kemudian, pengadilan Tripoli menjatuhkan hukuman mati secara in absentia atas kejahatan yang dilakukan selama pemberontakan. ICC telah berulang kali memintanya untuk diadili.
Juni 2014, dia sempat muncul melalui tautan video dari Zintan selama persidangannya di pengadilan Tripoli.
Dan sejak itu, ia baru muncul dalam wawancara dengan The New York Times.
Dalam wawancara ini, Saif al-Islam menegaskan dirinya orang bebas yang mengorganisasi politik Libya.
Ia bahkan menyebut penculik berubah menjadi sahabat. Para milisi Libya akhirnya menyadari bahwa Saif bisa menjadi sekutu yang kuat.
Dalam beberapa tahun terakhir Libya telah terpecah antara dua pemerintahan saingan yang didukung oleh pasukan asing dan milisi yang tak terhitung jumlahnya.
Pada Oktober 2020, pasukan yang didukung Turki dari Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli mengusir orang-orang militer dari kelompok Khalifa Haftar.
Situasi keamanan perlahan-lahan membaik sejak itu. Pemerintahan sementara disepakati pada bulan Maret, dan pemilihan umum diperkirakan akan berlangsung pada 24 Desember 2021.
Saif al-Islam sudah berhitung untuk kembali ke panggung politik Libya. Ia sudah berhitung tentang pengadilan Tripoli dan surat perintah ICC untuk penangkapannya.
Dengan pendidikan di Inggris, Saif jauh lebih cerdik dalam urusan seperti ini.
Saif al-Islam begitu yakin bahwa masalah hukum seperti ini dapat dirundingkan jika mayoritas rakyat Libya memilih dia sebagai pemimpin.
“Saya telah jauh dari rakyat Libya selama 10 tahun. Kami akan kembali secara perlahan. Perlahan. Seperti tarian striptis. Anda perlu sedikit bermain dengan pikiran mereka,” katanya.
Tentang persembunyiannya, ia bilang begini, “Kami seperti ikan, dan orang-orang Libya seperti laut bagi kami.”
“Tanpa mereka, kami mati. Di situlah kami mendapat dukungan. Kami bersembunyi di sini. Kami berjuang di sini. Kami mendapat dukungan dari sana. Orang-orang Libya adalah lautan kami,” katanya.