Krisis Politik Malaysia, PM Muhyiddin Yassin Terancam
Yang Dipertuan-Agung Segera Ambil Keputusan
PERDANA Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, menghadapi desakan untuk mengundurkan diri.
Muhyiddin pun menunda sidang parlemen tanpa batas waktu setelah menghadapi Raja Malaysia, Sultan Abdullah dari Pahang pada Rabu (4/8/2021).
Audiensi tersebut digelar saat desakan mundur terhadap Muhyiddin semakin deras datang.
Muhyiddin berada di Istana Negara Malaysia selama satu jam.
Dia meninggalkan Istana pada pukul 11.50 waktu Malaysia tanpa memberikan komentar apa pun.
Kemelut dalam pemerintahan Muhyiddin terjadi sejak Sabtu, 31 Juli 2021 ketika oposisi dan beberapa sekutu pemerintah memperingatkan tentang krisis konstitusional.
Laman www.asiaone.com melaporkan bahwa penanangan merebaknya kasus Covid-19 memperburuk posisi pemerintahan Muhyiddin.
Beruntung bahwa parlemen masih memberikan kekuatan hak prerogatif untuk menunda sidang selama lima hari setelah Raja Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah mengizinkan anggota parlemen memperdebatkan kebijakan terkait sebagai kondisi darurat.
Wakil Ketua Parlemen Rashid Hasnon yang beasal dari partai Muhyiddin sendiri menyebutkan perlunya pencegahan karena 11 orang di gedung parlemen dinyatakan positif.
Dengan 11 kasus yang merupakan 0,9 persen dari total anggoa parlemen, oposisi menuduh Rashid menggunakan pandemi sebagai upaya mengesampingkan perdebatan setelah muncul teguran dari Sultan Abdullah.
Dalam pernyataan publik, Raja Sultan Abdullah mengungkap kekecewaan yang mendalam kepada pemerintah. Raja menuding pemerintah menyesatkan parlemen dengan menyarankan raja menyetujui pencabutan keadaan darurat tanpa pembahasan di parlemen.
Pernyataan kerajaan, yang dikeluarkan oleh Pengawas Keuangan Rumah Tangga Kerajaan, mengejutkan dunia perpolitikan Malaysia. Sebab, Raja menggunakan diksi yang tegas dan keras terhadap Pemerintahan Muhyuddin.
Selama ini, kerajaan yang berfungsi sebagai penjaga budaya Melayu dan agama Islam mempertahankan praktik untuk tidak secara terbuka menegur pemerintah.
Ada sembilan kepala rumah tangga kerajaan yang bergiliran menjadi raja atau Yang Dipertuan-agung.
Posisi ini mencerminkan kepala negara dalam sistem pemerintahan Westminster.
Namun, Perdana Menteri Muhyiddin berani menantang setelah teguran kerajaan.
Muhyiddin berargumen bahwa raja sebenarnya telah diberitahu tentang posisi pemerintah bahwa mencabut keadaan darurat tidak memerlukan debat parlemen.
Menulis di The Star pada hari Sabtu, pengamat politik Joceline Tan mencatat kemungkinan istana memandang penolakan pemerintah untuk mengizinkan pemungutan suara pada keadaan darurat sebagai penghinaan.
Pemungutan suara akan menawarkan negara gagasan apakah Muhyiddin memiliki dukungan legislatif mayoritas seperti yang dia klaim.
Parlemen telah ditangguhkan sejak Sultan Abdullah memberikan kekuasaan darurat kepada Muhyiddin pada 12 Januari 2021.
Raja telah berulang kali mendesak pemerintah untuk mengadakan sidang parlemen selama keadaan darurat.
Pemerintah menolak seruan itu, dengan alasan perlunya kasus Covid-19 berkurang sebelum anggota parlemen dapat berkumpul.
Kini para penentang Muhyiddin mulai bergerilya, seperti pemimpin oposisi Anwar Ibrahim dan sesepuh negarawan Mahathir Mohamad.
Ketua parlemen yang ditunjuk Muhyiddin telah memblokir upaya anggota untuk mengajukan mosi tidak percaya sejak pemerintah berkuasa dalam kudeta politik Maret 2021.
Kini situasi politik benar-benar menguji ketahanan Muhyiddin apakah benar-benar bisa bertahan atau terdepak.
“Sebab, dalam situasi tertentu, raja memiliki kekuatan untuk menunjuk siapa pun yang mendapat dukungan parlemen sebagai perdana menteri,” tulis pengamat politik Joceline Tan dalam suratnya di The Star’s.
Di media sosial, anggota parlemen oposisi bereaksi dengan marah atas penundaan parlemen.
Syed Saddiq Syed Abdul Rahman, pemimpin partai Aliansi Demokratik Malaysia, menulis di Twitter bahwa ia berencana untuk nekad memasuki gedung parlemen awal pekan depan.
Ketika krisis politik terjadi, kasus Covid-19 tetap meninggi meski penguncian atau lockdonw pertama kali sudah dilakukan pada awal Juni.
Beban kasus harian mencapai rekor baru 17.786 pada hari akhir pekan lalu atau akhir pekan Juli.
Lebih dari 1,1 juta dari 33 juta orang di negara itu telah terinfeksi sejak pandemi dimulai.
Sebanyak 9.024 orang atau 0,8 persen dari mereka yang terinfeksi meninggal.