Sayuti Melik Jadi Perbincangan Netizen Jelang Perayaan HUT RI ke-76
Semangat bung Sayuti Melik ngetiknya, jangan lupa ngopi
Sayuti Melik dikenal sebagai pengetik naskah pidato HUT RI 76 tahun lalu.
Nama Sayuti Melik pun sempat menjadi trending, umumnya netizen membayangkan malam sebelum naskah dibacakan Presiden Soekarno.
Berikut ini cuitan para netizen terkait Sayuti Melik.
@strikingblues: sayuti melik: Proklamaso.. kamk bsngda indpnesua
@suryabersinarrr: Sayuti melik lagi typing naskah proklamasi jgn diganggu
@aguto_kun: Jam jam Sayuti Melik disuruh ngetik teks proklamasi tapi malah mabar valorant
@eleuthromanics: Seganteng-gantengnya typingmu, masih gantengan typingnya Sayuti Melik.
@____1956: semangat bung Sayuti Melik ngetiknya, jangan lupa ngopi.
Tentang Sayuti Melik
Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 – meninggal di Jakarta, 27 Februari 1989 (umur 80 tahun).
Ia dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu’in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.
Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil.
Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink.
Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri.
Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan.
Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda.
Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933).
Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun.
Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama.
Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.
Pada tahun itu juga mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar.
Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda.
Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer.
Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa.
Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.
Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin.
Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya.
Ia mengubah kalimat “Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”.