Profil Joko Pinurbo dan Kutipan-Kutipan Terbaiknya
Jokpin meninggal dunia pada 27 April 2024 pukul 06:03 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Usianya 61 tahun
Ini adalah profil penyair Joko Pinrbo (Jokpin). Ia meninggal dunia dalam usia 61 tahun (11 Mei 1962 – 27 April 2024).
Jokpin meninggal dunia pada 27 April 2024 pukul 06:03 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Jokpin, adalah salah seorang penyair terkemuka Indonesia yang karya-karyanya telah menorehkan gaya dan warna tersendiri dalam dunia puisi Indonesia.
Kutipan terbaik karya-karya puisinya bisa disimak di akhir tulisan ini.
Ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kegemarannya mengarang puisi ditekuninya sejak di Sekolah Menengah Atas.
Atas pencapaiannya, Jokpin telah memperoleh berbagai penghargaan:
Antara lain Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Penyair yang bermukim di Yogyakarta ini sering diundang ke berbagai pertemuan dan festival sastra.
Karya-karyanya telah diterjemahkan antara lain ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia dan Mandarin.
Sejumlah puisinya juga telah dimusikalilasi antara lain oleh Oppie Andaresta (dalam genre musik pop) dan Ananda Sukarlan.(dalam genre musik klasik berupa paduan suara dan tembang puitik)
Puisi-puisi Jokpin merupakan perpaduan narasi, humor, dan ironi.
Ia piawai menggunakan dan mengolah citraan yang mengacu pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair tapi tajam.
Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi yang menyentuh absurditas sehari-hari.
Di sisi lain, Jokpin gemar mempermainkan dan mendayagunakan keunikan kata-kata bahasa Indonesia sehingga banyak puisinya hanya dapat dibaca dan dinikmati dalam bahasa Indonesia.
Karya-Karyanya
Celana, IndonesiaTera, Magelang, 1999
Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera, Magelang, 2001
Pacarkecilku, IndonesiaTera, Magelang, 2002
Telepon Genggam, Kompas, Jakarta, 2003
Kekasihku, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004
Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan, Grasindo, Jakarta, 2005
Kepada Cium, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Tahilalat, Omahsore, Yogyakarta, 2012
Haduh, aku di-follow, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013 [kumpulan puitwit [puisi-twitter] @jokopinurbo]
Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013
Bulu Matamu: Padang Ilalang, Motion Publishing, Agustus 2014
Surat Kopi, Motion Publishing, Agustus 2014
Surat dari Yogya: Sepilihan Puisi, Reboeng dan Elmatera, Oktober 2015
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan, Gramedia Pustaka Utama, Juni 2016
Malam Ini Aku Akan Tidur Di Matamu: Sehimpun Puisi Pilihan, Gramedia Widiasarana Indonesia, Agustus 2016
Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi, Gramedia Pustaka Utama, Juli 2017
Srimenanti, Gramedia Pustaka Utama, April 2019
Salah Piknik, Gramedia Pustaka Utama, Februari 2021
Tak Ada Asu di Antara Kita: Kumpulan Cerpen, Gramedia Pustaka Utama, Januari 2023
Daftar Kutipan Terbaik Joko Pinurbo
Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh.
Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan
Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.
Sebagian rambutku sudah jadi rambut salju. Jangan sedih. Aku belum lupa cara berbahagia. Dompet boleh padam, rezeki tetap menyala.
Kupetik pipinya yang ranum,kuminum dukanya yang belum: Kekasihku, senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.
Ketika aku berdoa, Tuhan tak pernah menanyakan agamaku.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja,yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.
Kau mata, aku airmatamu.
Dikumpulkannya juga rongsokan kata yang telah tercampur dengan limbah waktu. Aku terhenyak: “Hai, jangan kauambil itu. Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”
Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih
atau pacar naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu!
Dengan atau tanpa celana, saya akan tetap menulis puisi.
Sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan
mereka harus pergi cari kerja sendiri.