Business is booming.

Adnan Buyung Nasution, Sang Pejuang Hukum dan HAM

Indonesia Bangga punya Pejuang Hukum dan HAM Adnan Buyung Nasution

Pendekar hukum, pengacara senior, aktivis HAM sudah melekat pada sosok Adnan Buyung Nasution (ABN) yang meninggal dunia pada usia 81 tahun Rabu (23/09) sekitar pukul 10.15 WIB di rumah Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Namun gelar seperti itu seolah tidak cukup, karena ia pernah menjadi aktivis, jaksa, anggota DPRGR, wakil Ketua KPU, hingga Ketua Watinpres. Ia dikenal sebagai pengacara pembela kaum lemah, namun belakangan juga pengacara tentara bahkan koruptor.

ABN juga pernah kuliah di Tehnik Sipil ITB, lalu Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik UGM Yogyakarta, hingga memperoleh S1 di Fakultas hukum UI. ABN juga bergelar Doktor dan Profesor, meski gelar yang terhormat itu rasanya kalah dibanding nama besarnya sebagai seorang Adnan Buyung Nasution.

Dalam rubrik Lebih Jauh Dengan Adnan Buyung Nasution di harian Kompas edisi Minggu tahun 1992, ia sempat ditanya cita-citanya. Lalu ABN pun menjawab bahwa cita-cita sejak kecil adalah menjadi pejuang, seperti ayahnya. Ayahnya memang pejuang melawan penjajahan, sekaligus pendiri Kantor Berita Antara.

“Sebagai orang yang ingin menjadi pejuang, kan tidak ada batasnya. Ketika menjadi advokat pun saya tidak sekadar menganggap hukum sebagai soal teknis, sebagai pekerjaan untuk mencari uang lalu menjadi kaya.” katanya.

Ya Adnan Buyung Nasution memang pejuang. Pejuang tiga jaman, yakni jaman Soekarno, Soeharto, hingga jaman reformasi. Ia tetap aktif bekerja dalam usia 81 tahun, sebelum penyakit meruntuhkan fisiknya, mengakhiri nama besarnya, dan menyisakan jejak harum perjuangannya.

JEJAK KARIER ADNAN BUYUNG NASUTION

Lahir di Jakarta, 20 Juli 1934
1951: Masih duduk di SMA I Jakarta, Adnan Buyung Nasution (ABN) menjadi Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Tapi karena organisasi itu mulai kemasukan unsur PKI dan membawa-bawa International Union of Student (IUS) yang kekiri-kirian, Buyung lantas membubarkan IPPI.

1952-1957: Masuk ITB Bandung Jurusan Teknik Sipil, langsung aktif di Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Baru setahun kuliah, dia berhenti dan pindah ke Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik UGM Yogyakarta. Tidak betah lagi, pindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI Jakarta.

1957: Begitu lulus sarjana muda, ABN bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta, sambil meneruskan kuliah. Saat bekerja di kejaksaan Buyung muda mendirikan dan menjadi Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Dia juga menjadi anggota Komando Aksi Pengganyangan Gestapu. Akibatnya dia pernah diinterogasi oleh atasannya sendiri, Asisten Jaksa Agung, karena ikut demonstrasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan sempat juga dirumahkan, satu setengah tahun. Tidak dipecat, tapi juga tidak diberi pekerjaan, tidak diberi meja di kantor. Dia dituduh antirevolusi, anti-Manipol-Usdek.

1966: Menjadi Anggota DPR-GR wakil kejaksaan, ia tetap kritis mengkritik pembentukan apa jang dinamakan “Dewan Kehormatan Menteri”. Kala itu ABN menyangsikan motif pembentukan lembaga itu di istana Negara. Tatkala Soekarno tumbang dan Soeharto muncul dengan nama Orde Barunya, Adnan Bujung yang kala itu menjadi Ketua Umum “Gerakan Pelaksana Ampera’ mengatakan, bahwa orde baru tanpa isi jang njata bagi kesedjahteraan rakjat, sama sadja dengan penjual ‘ketjap’.

Baca Juga:  Mahkamah Konstitusi Trending, Netizen Heran Debat kok Saling Sindir

1967: Berdasarkan keputusan Presiden RI no 81/1967 tanggal 8 Djuni ’67 Adnan Bujung Nasution direcall sebagai anggota DPRGR. Ia digantikan Sugeng Marsigit SH. Sejumlah lembaga mempertanyakan pencopotan Adnan Buyung Nasution. Namun akhirnya Buyung menerima dan kembali bekerja di kejaksaan RI.

1968: Adnan Buyung akhirnya memilih keluar dari kejaksaan. Ia sempat menganggur setahun. Waktu luang itu benar-benar ia manfaatkan untuk mempersiapkan mewujudkan obsesi lamanya saat bekerja di kejaksaan. Yakni membuat lembaga bantuan hukum untuk kaum lemah.

1969: Resmi memperoleh izin sebagai advokat. Saat itu juga ia membikin firma atas namanya sendiri Adnan Buyung Nasution.

1970: Akhirnya berhasil mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Lembaga pembela kaum lemah itu memperoleh dukungan banyak pihak, termasuk Gubernur DKI kala itu, Ali Sadikin.

1971: Muncul gerakan yang menamakan golongan putih. Adnan Buyung Nasution didapuk sebagai salah satu tokoh golongan ini.

1972: Adnan Buyung terbang ke New York untuk memenuhi undangan menghadiri sidang “Committee On Legal Services To The Poor On The Developin Countries” Panitia Bantuan Hukum Pada Rakyat Miskin Dinegara-negara sedang berkembang.

1974: Muncul peristiwa Malari. Adnan Buyung ikut menenangkan para aktivis yang resah dengan sikap penguasa. Ia kemudian ditangkap dan dipenjara karena dianggap terlibat Malari.

1975: Setelah hampir setahun dipenjara, Adnan Buyung dibebaskan dari tahanan. Dengan surat perintah Jaksa Agung, Adnan Buyung Nasution dinyatakan tidak terlibat dalam “peristiwa Malari 1974”. Pada tahun ini, Adnan Buyung kehilangan ibundanya Haji Ramlah Lubis yang meninggal dunia di rumanya Jalan Bum, Kebayoran. Ayah Buyung, Rachmat Nasution, salah seorang pimpinan kantor berita “Antara” telah tiada terlebih dulu.

1976: Membicarakan kembali pendirian LBH di daerah-daerah dengan Mendagri saat itu, Amir Machmud. Rencana itu sempat tertunda lima tahun karena ada larangan Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo. Tahun ini, Buyung juga menerima piagam penghargaan dari “International Legal Aid Association” yang pertama di Stockholm .

1977: Memuji Jaksa Agung Ali Said SH atas tindakannya yang cepat menertibkan aparaturnya.

1978: Ny. Mudikno, ibu dari dokter Ny. Tanti Aidit meminta Adnan Buyung Nasution mendampinginya. Pada saat yang berbeda, Ny Sunarti Rendra menemui Direktur LBH Adnan Buyung Nasution untuk meminta dukungannya.

1979: Adnan Buyung tetap mengakui Ali Moertopo sebagai salah seorang sesepuh LBH. Terlepas dari perbedaan pandangan, kata Buyung, kenyataan sejarah bahwa Ali Moertopo merupakan salah seorang pemrakarsa pembentukan. Tertuduh MN bin Zia alias Ad yang diadili Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus pembunuhan seorang ibu yang hamil, minta didampingi Adnan Buyung Nasution. Ia pun menyanggupi permintaan tukar parkor tersebut.

1980: Empat orang anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendirikan kantor advokat sendiri. Mereka adalah Minang Warman SH, Tatang Suganda SH, Sri Redjeki Kusnun SH, dan Hotma Sitompul SH. Direktur LBH Adnan Buyung Nasution SH menyatakan tak keberatan.

1981: Bantuan Hukum sebagai suatu gerakan atau perjuangan, menurut Adnan Buyung Nasution, harus merupakan lembaga yang independen, yang tidak berafiliasi atau terikat kepada partai politik, Golkar ataupun organisasi politik lainnya.

1982: Terpilih sebagai anggota “International Association of Human Right Teachers and Researchers” dalam suatu sidang UNESCO di Strasbourg (Prancis) mengenai hak-hak azasi manusia.

1983: Mendukung niat Garnisun Yogyakarta memberantas kelompok-kelompok “gali”.
1985: Adnan Buyung dan Haryono Tjitrosoebono menjadi pembela tersangka kasus Subversi, Drs A.M. Fatwa.

Baca Juga:  Awal Mula Trending Saya SD, Dari Debat Rocky Gerung dan Silfester Matutina

1986: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengajukan usul kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh SH, agar mencabut izin praktek dari pengacara senior Adnan Buyung Nasution SH. Buyung dianggap melakukan contempt of court (penghinaan atas lembaga peradilan), ketika membela kasus subversi HR Dharsono. Kesalahan yang ditimpakan kepadanya terjadi tatkala ia berkacak pinggang dan menginterusi ucapan hakim. Itu merupakan kasus contempt of court pertama.

1987: Pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution akhirnya diskorsing setahun sebagai advokat karena kasus contempt of court

1988: Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan pengacara Adnan Buyung Nasution terhadap Menteri Kehakiman atas skorsing yang diterimanya.

1989: Berurai air mata saat atas nama Lembaga Swadaya masyarakat Internasional untuk Indonesia (INGI), menyerahkan jenazah Mr Yap Thiam Hien (76) kepada keluarga.

1991: LBH ultah ke-21 tanpa Adnan Buyung Nasution yang sedang menyelesaikan S3 di Belanda

1992: Buyung Nasution akan pertahankan disertasinya di Rijksuniversiteit, Utrecht, Belanda. Bertindak sebagai promotor bagi promovendus antara lain, Prof Dr Selo Sumardjan dan Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, MA. Di Indonesia, Menteri kehakiman Ismail Saleh menyatakan telah mencabut larangan Adnan Buyung Nasution untuk berpraktek sebagai pengacara. Masa skorsingnya dianggap sudah selesai.

1993: Bersama Ahli hukum pidana Prof Dr J.E Sahetapy SH, ABN menuntut agar Undang-Undang Subversi perlu dikaji ulang.

1994: Menjadi pengacara Jose Axandre Xanana Gusmao, yang saat itu mendekam di LP Cipinang. Tahun ini Buyung memperoleh julukan baru sebagai aktivis HAM. Kala itu Komnas HAM memang terkenal. Sekjen Komnas adalah Baharuddin Lopa. Xanana memang menunjuk YLBHI sebagai pengacaranya.

1995: Menjadi pengacara mantan Pemimpin Redaksi Tempo Goenawan Mohamad dan 43 wartawan Tempo yang menggugat Menteri Penerangan saat itu. Selain Buyung pengacara lainnya adalah Atmajaya Salim, dan Trimoelja Soerjadi.

1997: Dalam diskusi Forum Kajian Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia Adnan Buyung menolak hukuman mati. Baik hakim sebagai pribadi maupun negara sebagai yang berwewenang atas pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sama sekali memiliki hak untuk mencabut nyawa manusia, sejahat apa pun si terdakwa. Dia mengutip surah Al Baqarah ayat 178, yang mengamanatkan pemberian maaf atas peristiwa pembunuhan begitu yang bersangkutan memohon maaf, membayar denda dan ganti rugi.

1998: Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa kondisi hukum Indonesia chaos (kacau balau), tanpa kepastian seperti kondisi tahun 1966. Saat itu memang terjadi krisi politik menjelang jatuhnya Presiden Soeharto.

1999: Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid selaku Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) membentuk sebuah tim independen untuk menyeleksi partai-partai politik yang boleh mengikuti pemilu. Selain Buyung, tim independen yang kemudian bernama tim sebelas itu beranggotakan Nurcholish Madjid, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Mulyana W Kusumah, Kastorius Sinaga, Rama Pratama, Adnan Buyung Nasution, Adi Andojo Sutjipto, Eep Saefulloh Fatah, Afan Gaffar, dan Miriam Budiardjo.

2000: Menjadi Ketua Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Tim itu terdiri dari anggota Muladi (Konsultan HAM Perwira TNI), Ruhut Sitompul, Tommy Sihotang, dan Yan Juanda Saputra. Tim tersebut menyoroti Keputusan Presiden RI No 29/M Tahun 2000 tentang pemberhentian Jenderal Wiranto dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) RI periode 1999-2004. Tahun ini juga ABN, menjadi Wakil Ketua Umum KPU. Ketuanya saat itu Rudini.

2001: Adnan Buyung Nasution menjadi pengacara keluarga Sjamsul Nursalim, tersangka kasus korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Baca Juga:  Profil Ustaz Das’ad Latief, Mubaligh yang Beri Semangat kepada Polisi karena Punya Nikmat Sosial

2002: Advokat senior Adnan Buyung Nasution berpendapat, seorang advokat tidak boleh merangkap sebagai pejabat publik. Kala itu DPR sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat. Pada tahun ini juga Munir (alm) yang saat itu menjadi Dewan Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Adnan Buyung Nasution mundur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Munir saat itu, Buyung Nasution yang membutuhkan LBH daripada LBH membutuhkan dia. Ia meminta mundur karena Adnan Buyung berdiri di dua tempat berlawanan yakni YLBHI dan Koordinator Tim Advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) Tentara Nasional Indonesia (TNI).

2003: Menjadi Ketua Tim Pengacara tersangka teroris Abu Bakar Ba’asyir. Tim beranggotakan Mahendradatta, Victor W Nadapdap, Zainuddin Paru, Ahmad Kholid, Ali Nurdin, dan Munarman.

2004: Adnan Buyung Nasution luncurkan biografi bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-70, 20 Juli 2004. Bukunya berjudul Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti, Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Penulisan buku dibantu oleh Ramadhan KH dan Nina Pane. Pada September 2004, Indonesia dikejutkan dengan kematian Munir yang sedang melakukan perjalanan untuk menuntut S2 di Belanda. Buyung pun menyatakan Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab untuk mengungkap penyebab kematian Munir. Ia tak dendam Munir pernah meminta mundur dari LBH.

2005: Menjadi anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota Komisi Yudisial. Ketua Pansel Abdul Gani Abdullah, Wakil Ketua Pansel Amir Syamsuddin

2006: Menjadi tim fasilitator rekonsiliasi MA-Komisi Yudisial bersama Mas Achmad Santosa. Perseteruan antara hakim agung Artidjo Alkostar dan anggota Komisi Yudisial Busyro Muqqodas pun berhasil mereda.

2007: Pada 9 April 2007 Adnan Buyung yang kadung identik dengan LBH melayangkan surat resmi pengunduran diri sebagai Ketua Dewan Pembina YLBHI. Pengunduran diri tersebut berkaitan dengan jabatan terbaru yang diemban sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

2008: Sebagai Ketua Wantimpres, Adnan Buyung terbang ke Singapura bersama mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Saat itu sempat dicurigai hendak menjenguk Sjamsul Nursalim. Koruptor BLBI itu sempat menjadi klien Kantor Pengacara Adnan Buyung Nasution.

2009: Adnan Buyung Nasution dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kala itu, ia tiba-tiba mengalami sesak nafas. Keluarga menduga Adnan Buyung sakit karena kecapaian. Ia butuh istirahat total. Saat genap berusia 75 tahun 20 Juli 2009, para aktivis hukum yang pernah menjadi anak buah Adnan Buyung Nasution (ABN) pun membuat refleksi. Intinya ABN adalah sosok panutan mereka terlepas dari kelebihan dan kekurangannya.

2010: Adnan Buyung Nasution ditetapkan sebagai guru besar oleh Melbourne University, Australia.

2011: Menjadi pengacara Gayus Tambunan. Adnan Buyung pun dikritik banyak pihak.

2012: Mengritik Presiden SBY yang kurang memaksimalkan Wantimpres. Kritik itu dituangkan dalam bukunya. Ia mencontohkan, dalam 1,5 tahun hanya terjadi tiga kali pertemuan/komunikasi langsung dengan Presiden.

2013: ABN menyatakan akan menyurati Presiden SBY karena merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Menrutnya, hal itu telah melanggar etika politik.

2014: Adnan Buyung Nasution menjadi kuasa hukum KPU

2015: ABN meninggal dunia hari Rabu (23/0) sekitar pukul 10.15 WIB di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan karena sakit jantung dan ginjal. Esoknya ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Orang Lain Juga Baca
Komentar
Loading...