Djoko Tjandra Dapat Potongan Hukuman dari 4,5 Tahun Jadi 3,5 Tahun
Tak lagi sebanding dengan penangkapan yang menghebohkan publik
Vonis Djoko Tjandra yang memperoleh korting setahun dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun kini jadi sorotan.
Vonis itu seolah tak lagi mencerminkan kehebohan dalam penangkapannya.
Juga tentang pelarian hingga beberapa tahun berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Djoko Tjandra yang tersangka kasus penghilangan red notice dan pemufakaan jahat terkait fatwa Mahkamah Agung.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan hal yang meringankan Djoko adalah saat ini dia telah menjalani pidana penjara dan sudah menyerahkan uang terkait perkara pengalihan hak tagih utang (cessie) Bank Bali sebesar Rp 546 miliar.
Penangkapan Djoko Tjandra yang sebelumnya diapresiasi sejumlah pihak dipimpin oleh Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang saat itu masih menjabat Kabareskrim.
Sigit bahkan mengatakan perintah penangkapan Djoko Tjandra diinisiasi langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis.
Idham lalu membentuk tim untuk memulangkan Djoko ke Indonesia. Sigit pun menjemput langsung Djoko Tjandra di Malaysia pada Kamis (30/7/2020).
“Kapolri membentuk tim khusus yang secara intensif mencari keberadaan Djoko Tjandra,” kata Sigit.
Menurut Sigit, tim itu kemudian mendapat informasi bahwa Djoko Tjandra berada di Malaysia. Tim Polri itu kemudian menindaklanjuti upaya pemulangan pria yang juga dikenal dengan sebutan Joker itu dari Malaysia.
Salah satu bentuknya adalah bekerja sama dengan Kepolisian Diraja Malaysia.
“Ditindaklanjuti dengan kegiatan police to police. Kami mengirim surat kepada Kepolisian Diraja Malaysia untuk upaya pencarian,” ucap Sigit.
Buron yang melarikan diri dari Indonesia sejak 11 tahun lalu itu mendarat sekitar pukul 22.40 WIB, setelah diterbangkan dari Malaysia.
Penangkapan Djoko Tjandra dimulai sejak buronan dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali itu sempat masuk ke Indonesia untuk membuat e-KTP dan mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia tanpa adanya penangkapan menghebohkan publik karena hal itu menunjukkan betapa lemahnya aparat penegak hukum.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bahkan mengatakan masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia tanpa adanya penangkapan merupakan tamparan keras bagi aparat penegak hukum.
Jaksa masih pikir-pikir untuk kasasi Menyikapi pemangkasan vonis Djoko Tjadra, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat masih mempelajari putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budi Santoso mengatakan, jaksa belum memutuskan sikap, apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.
“JPU masih mempelajari putusan banding tersebut,” kata Riono saat dihubungi, Kamis (29/7/2021). Namun Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman tidak yakin jaksa penuntut umum (JPU) bakal mengajukan kasasi atas pemotongan hukuman Djoko Tjandra.
“Saya menghormati putusan ini, tapi saya ragu apakah jaksa akan melakukan kasasi terhadap vonis ini,” ujar Boyamin saat dihubungi, Kamis (29/7/2021).
Boyamin menilai, keputusan jaksa untuk kasasi terkait pemangkasan hukuman Djoko Tjandra juga akan sama dengan keputusan jaksa yang tidak mengkasasi pemangkasan vonis terhadap mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari selaku penerima suap.
Saat itu, Pinangki bahkan mendapat diskon vonis sebesar 60 persen.
Mantan jaksa itu dikurangi vonisnya dari 10 menjadi 4 empat tahun saat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Berdasarkan logika hukum, kata Boyamin, penyuap dalam hal ini Djoko Tjandra mesti mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada penerima suap, yaitu Pinangki.
“Kalau kasasi dan dihukum berat, ya repot juga hukumannya di atas Pinangki,” ucapnya.
Boyamin berpendapat, majelis hakim di tingkat pengadilan tinggi ini bermasalah.
Empat dari lima hakim yang menangani putusan tingkat banding Djoko sama dengan mereka yang memotong hukuman Pinangki.
Pemberian hukuman terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung dan penghapusan red notice keimigrasian untuk Djoko akhirnya jadi karut-marut.
“Tampaknya yang bermasalah ini hakim di tingkat banding yang memvonis Pinangki dan hakimnya pun juga sama dalam banding Djoko. Ini sudah menabrak tembok,” ujarnya seperti dikutip Kompas.com.
Djoko Soegiarto Tjandra (Tjan Kok Hui) lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1951 (umur 69 tahun).
Ia adalah seorang pengusaha dan buronan korupsi asal Indonesia.
Pada 2009, ia melarikan diri ke Papua Nugini sehari sebelum ia dijebloskan ke penjara karena perannya dalam penggelapan dana perbankan.
Keluarganya mendirikan kelompok perusahaan Mulia.