Novia Widyasari Ternyata Pernah Mengadu ke Komnas Perempuan
Komnas Perempuan: Kasus NWR bom waktu Keterbatasan Layanan Pendampingan
Kasus kematian tragis Novia Widyasari Rahayu (NWR) memperoleh perhatian serius Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Bahkan pihak Komnas Perempuan mengakui pernah dihubungi NWR saat masih hidup.
Melalui Keterangan Pers tertulisnya, Komnas Perempuan menyebut pernah dihubungi NWR pertengahan Agustus 2021.
Komnas Perempuan lalu berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspon korban untuk menanyakan prosedur pengaduan.
Lalu saat mengetahui NWR bunuh diri, pihak Komnas Perempuan mengaku terkejut.
Komnas Perempuan mengaku terlambat menangani kasus NWR karena keterbatasan tenaga psikolog.
Karena itu mereka menganggap kasus NWR menjadi Bom Waktu Keterbatasan Layanan Pendampingan Korban Di Tengah Lonjakan Pengaduan Kasus Kekerasan Seksual.
“Kasus ini sungguh memilukan dan menjadi kesedihan bagi keluarga korban dan kita semua.” Demikin Komnas Perempuan dalam kesimpulannya.
NWR atau Novia Widyasari Rahayi (23 tahun) adalah mahasiswi Universitas Brawijaya yang meninggal dunia karena bunuh diri disamping makam ayahnya.
Belakangan diketahui NWR mengalami depresi berat.
Salah satu penyebabnya karena ia dipaksa aborsi oleh sang kekasih yang merupakan anggota polisi Bripda RB.
Bahkan kehamilan NWR diduga karena diperkosa sang kekasih.
Saat diketahui hamil, Bripda RB memaksa menggugurkan kandungan didukung keluarganya yang belum siap menjadikan NWR sebagai menantu.
Komnas Perempuan sendiri selain ikut berduka, juga mengungkap fakta meningkatnya kasus Kekerasan dalam pacaran (KDP).
KDP adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum.
Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka.
Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
Kasus NWR
Kisah tragis NWR harus menjadi pelajaran bagi kita.
Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat.
Daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.
Menyegerakan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang meneguhkan komitmen negara dalam pelaksanaan tanggung jawab pemulihan korban, selain memutus impunitas, adalah langkah mendesak.
Mengembangkan ekosistem dukungan bagi korban juga tidak lagi dapat ditunda: dari keluarga hingga bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan layanan, mulai dari desa hingga nasional.
NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019.
Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara: memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali.
Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Pernah Hubungi Komnas Perempuan
Dalam kasus NWR, korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami.
Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam.
Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan di tengah Agustus 2021.
Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
Sebelumnya, Komnas Perempuan telah berupaya menjangkau korban aplikasi whatsapp (WA) dan sempat direspon korban untuk menanyakan prosedur pengaduan.
Juga, melalui telpon, tetapi tidak terangkat.
Pada saat berhasil dihubungi, korban menyampaikan bahwa ia berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orang tuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya.
Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto.
Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal Desember.
Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini.
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021.
Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020. Lonjakan pengaduan kasus telah kami amati sejak tahun 2020.
Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekuatiran yang terus kami pikul.
Kekuatiran kami semakin menjadi sejak kwartal kedua 2021.
Karena tidak mendampingi kasus secara langsung, upaya membantu korban menjadi komitmen yang terus dijaga dan dirawat Komnas Perempuan melalui sistem rujukan dan kerjasama dengan berbagai mitra lembaga layanan.
Namun, pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka, yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas.
Terlebih, masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan.
Sementara itu, kajian kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2020) memperlihatkan bahwa hanya 30% kebijakan daerah yang memandatkan adanya sistem pemulihan.
Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman.
Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan ‘bom waktu’ terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.
Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini.
Kematian NWR merupakan duka dan pukulan bagi keluarga korban, semua perempuan korban kekerasan, dan banyak dari kita, juga bagi Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga pendamping. Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua.
Mendidik publik untuk mendukung korban dan mendesak negara agar sungguh-sungguh membangun secara berkelanjutan infrastruktur dan sistem layanan pemulihan korban adalah tanggung jawab semua agar kisah NWR menjadi kisah pilu darurat kekerasan seksual yang terakhir.
Semua tangan haruslah disiapkan untuk merangkul dan merawat korban.
Karenanya, Komnas Perempuan menyerukan agar kasus NWR ini menjadi momentum:
a) Bagi negara untuk segera membenahi diri, termasuk dengan menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional maupun daerah;
b) Bagi semua pihak untuk turut mendorong pengesahan RUU TPKS, memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan individu pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan bersama-sama mengupayakan mengikis budaya menyalahkan perempuan korban kekerasan;
c) Kepolisian melakukan langkah-langkah tegas untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual, dengan tidak terbatas pada demosi, pelucutan jabatan ataupun penghentian keanggotaan, melainkan dengan proses hukum dan pemulihan korban yang berkeadilan;
d) Secara internal, Komnas Perempuan akan terus melakukan penguatan sistem dalam penyikapan pada pengaduan korban, menguatkan sistem rujukan, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan bagi lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan. Komitmen kami tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban atas nama kemanusiaan.
Narasumber
Siti Aminah Tardi
Dewi Kanti
Rainy Hutabarat
Theresia Iswarini
Andy Yentriyani
Narahubung
Christina Yulita