Business is booming.

Profil Nurul Ghufron, Luruskan Komnas HAM Soal TWK Pegawai KPK

Klarifikasi kesimpulan Komnas tentang Dirinya Tak Tahu Soal Penggagas TWK

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron meluruskan informasi terkait keterangan pihak Komnas HAM yang dianggap mengaburkan fakta.

Oleh Komnas HAM disimpulkan ia tak tahu apa-apa soal siapa yang mengagas tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menyebabkan 51 pegawai KPK tak lolos

“Saya klarifikasi bahwa tidak benar pernyataan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang menyatakan saya tidak tahu siapa yang menggagas ide TWK,” kata Ghufron lewat keterangan tertulis, Jumat (18/6/2021).

Menurut Ghufron, sudah dibahas mengenai pemenuhan syarat kesetiaan terhadap Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan pemerintahan yang sah apakah cukup dengan penandatanganan pakta integritas saja atau tidak.

“Dari diskusi tersebut terus berkembang dan bersepakat mengacu pada peraturan yang berlaku yaitu untuk menjadi ASN ada Tes Kompetensi Dasar dan Tes Kompetensi Bidang,” katanya.

Ghufron merinci, tes kompetensi dasar meliputi tiga aspek yakni Tes Inteligensi Umum (TIU), Tes Karakteristik Pribadi (TKP), dan TWK.

“Dan hal tersebut kemudian disepakati dalam draf Rancangan Perkom KPK pada tanggal 21 Januari 2021 yang disampaikan ke Kemenkumham untuk diharmonisasi. Draf disepakati dan ditandatangani oleh pimpinan KPK setelah dirapatkan bersama segenap struktural KPK,” jelasnya.

Dijelaskan Ghufron, pegawai KPK tidak menjalani TIU karena sudah dites saat proses rekrutmen baik sebagai pegawai tetap maupun tidak tetap.

Begitu pula dengan tes kompetensi bidang yang tidak diperlukan lagi karena pegawai KPK sudah mumpuni dalam pekerjaannya memberantas korupsi.

Baca Juga:  Sukolilo Pati Trending, Terjadi Dua Kasus Kriminal Sadis Dalam Dua Hari

“Yang belum adalah tes wawasan kebangsaannya sebagai alat ukur pemenuhan syarat bukti kesetiaan terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan pemerintah yang sah,” ujarnya.

Ghufron mengklaim pelaksanaan TWK sudah sesuai peraturan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2021.

“Syarat dalam PP 41/2020 ini sama dengan syarat menjadi ASN dalam UU 5/2014 tentang ASN Pasal 3, 4, 5 dan 66. Di samping UU ASN Pasal 62 ayat (2) dan juga dimandatkan dalam PP 11 tahun 2017 Pasal 26 ayat (4) tentang TWK,” kata dia.

Sebelumnya, Anam mengungkapkan ada tiga klaster pertanyaan yang tidak bisa dijawab Ghufron dalam pemeriksaan pada Kamis (17/6/2021).

Satu di antaranya terkait dengan pihak yang menggagas TWK sebagai sarana untuk menentukan alih status pegawai KPK menjadi ASN.

“Berikutnya terkait sangat berpengaruh soal pemilihan yang mewarnai proses ini semua, itu juga tidak bisa dijawab, intensitas pertemuan dan lain sebagainya enggak bisa dijawab karena memang bukan ranah Pak Nurul Ghufron.”

“Berikutnya adalah siapa yang mengeluarkan ide ini dan sebagainya, atau ini inisiatif siapa, beliau tidak bisa menjawab,” kata Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebelumnya Komnas HAM memanggil Ketua KPK Firli Bahuri terkait aduan pegawai KPK.

Bahuri enggan memenuhi undangan KPK. Kala itu berkembang isu Komnas HAM terlalu jauh mengurusi pegawai KPK karena tugas Komnas HAM urusi pelanggaran HAM berat.

Akhirnya Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam bertemu dengan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

Pertemuan tersebut berlangsung sejak pukul 10.30 WIB hingga sekira pukul 15.00 WIB.

Dalam pertemuan kemarin, Anam merasa kecewa lantaran tidak semua pimpinan KPK menghadiri pemeriksaan.

Baca Juga:  Iriana Trending, Netizen Sebut Keluarga Haus Kuoso

Padahal ia berharap bisa mendapatkan keterangan dari lima pimpinan KPK.

“Pemanggilan terhadap KPK hari ini itu kami tujukan kepada lima pimpinan KPK, dan Sekjen.”

Ia memahami mekanisme kolektif kolegial yang ada di KPK lantaran serupa dengan Komnas HAM.

Namun, menurut Anam, ada beberapa pertanyaan yang sifatnya khusus dan akan ditujukan kepada masing-masing pimpinan KPK.

Profil Nurul Ghufron

Gufron dilantik bersama lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

Mereka adalah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron. Pelantikan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019).

Dari kelima orang yang dilantik menjadi pimpinan KPK, Nurul Ghufron menjadi pimpinan KPK termuda.

Ghufron satu-satunya pimpinan KPK yang mempunyai latar belakang sebagai akademisi.

Pria kelahiran Sumenep itu pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember.

Sebelum menjadi akademisi, Ghufron pernah berprofesi sebagai pengacara.

Laki-laki yang lahir pada 22 September 1974 ini juga sedang mengikuti proses pemilihan rektor Universitas Jember saat proses uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK.

Ghufron pernah melaporkan kekayaannya senilai Rp 1.832.777.249 berdasarkan situs LHKPN.

Dalam tes wawancara dan uji publik, jika terpilih, Ghufron berjanji mengatasi konflik internal KPK lewat kesamaan visi antara pimpinan dan pegawai.

Menurut dia, internal KPK berasal dari banyak latar belakang, mulai dari penegak hukum, baik kejaksaan, maupun kepolisian hingga masyarakat sipil.

“Maka pertama dan utama adalah menyepakati visi dulu, menyepakati target bersama. Bahwa Anda dengan saya itu bukan paling utama, tapi Anda dengan saya memiliki pos masing-masing untuk tujuan bersama,” kata Ghufron dikutip dari Kompas.com, 13 September 2019.

Sempat tidak bisa dilantik jadi Komisioner KPK Usia Nurul Ghufron yang baru mencapai 45 tahun sempat menjadi polemik untuk dilantik sebagai pimpinan KPK dalam konteks penerapan Undang-Undang KPK hasil revisi.

Baca Juga:  Profil Mayjen TNI dr. Purwo Setyanto, Bersama Ridwan Kamil dan Mayjen Kunto Resmikan Gedung Baru RS Sariningsih

Dikutip dari Kompas.com, 7 Oktober 2019, pasal 29 huruf e UU KPK lama menyatakan syarat pimpinan KPK sekurang-kurangnya berumur 40 tahun.

Sementara, pada UU KPK hasil revisi menyebutkan bahwa ketentuan umur pimpinan KPK paling rendah 50 tahun.

Ternyata, diketahui bahwa polemik tersebut bersumber dari kesalahan penulisan alias tipo para wakil rakyat atas UU KPK hasil revisi.

Pasal 29 huruf e UU KPH hasil revisi tipo berbunyi, “Untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: berusia paling rendah 50 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,”.

Dalam angka dituliskan “50” tahun, tapi dalam huruf dituliskan “empat puluh” tahun.

Orang Lain Juga Baca
Komentar
Loading...